Tawaf: Putaran Takdir di Rumah Allah
Di bawah langit yang luas dan bertabur bintang, Niko menatap Ka’bah dengan mata yang penuh harap. Ia baru saja tiba di Masjidil Haram, jantung dunia yang berdenyut dengan doa dan zikir dari para hamba yang datang dari segala penjuru bumi. Niko dan istrinya, Sherli, berasal dari Pekanbaru, kota yang berjarak ribuan kilometer dari Mekah. Perjalanan mereka jauh, tetapi hati mereka merasa begitu dekat dengan rumah Allah. Langkah mereka gemetar, bukan karena lelah perjalanan, tetapi karena kesadaran bahwa mereka kini berdiri di tempat yang menjadi saksi doa para nabi, tempat di mana Ibrahim dan Ismail menegakkan pondasi cinta dan pengabdian kepada Allah.
Niko melangkah ke arah orang-orang yang tengah mengelilingi Ka’bah dalam putaran yang tak terhitung jumlahnya, sementara Sherli berjalan di sisinya, tangannya sesekali menggenggam tangannya dengan erat. Ia teringat pada hadist Rasulullah ﷺ, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Sesungguhnya thawaf di Ka’bah itu seperti shalat, hanya saja kalian boleh berbicara di dalamnya. Maka barang siapa yang berbicara, hendaklah ia berbicara dengan kebaikan.” (HR. Tirmidzi).
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengawali langkah pertamanya menuju tawaf bersama Sherli. Kakinya menyentuh lantai dingin yang telah dipijak oleh jutaan manusia sebelum dirinya. Putaran pertama dimulai, dan dalam diam ia memahami bahwa setiap langkah adalah bagian dari perjalanan spiritual mereka. Ia mengingat kisah malaikat yang pertama kali melakukan tawaf mengelilingi ‘Baitul Ma’mur’, rumah ibadah di langit yang sejajar dengan Ka’bah di bumi. Sejak penciptaan alam, ribuan malaikat datang setiap hari, beribadah dan mengelilinginya, tanpa pernah kembali lagi karena begitu banyaknya jumlah mereka. Begitu pula manusia, satu demi satu datang ke tanah suci ini, dipanggil oleh takdir yang telah tertulis.
Di putaran kedua, Niko merenungkan filosofi tawaf. Seperti planet yang mengitari matahari, seperti elektron yang mengelilingi inti atom, setiap makhluk di alam ini bergerak dalam lintasan yang telah ditentukan-Nya. Tawaf bukan sekadar berjalan memutari bangunan suci, tetapi juga simbol kepasrahan total kepada Allah. “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan,” bisiknya mengulang ayat Al-Fatihah. Sesekali ia menatap Sherli, yang wajahnya bercahaya dalam ketundukan dan khusyuk. Hatinya dipenuhi rasa syukur, betapa beruntungnya ia dapat menjalani perjalanan spiritual ini bersama wanita yang ia cintai.

Ketika ia mencapai putaran keempat, ia merasakan aliran energi yang tak kasat mata. Tawaf adalah perwujudan ketundukan mutlak, bahwa manusia tak lain hanyalah makhluk kecil di hadapan-Nya. Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda, “Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi, barang siapa yang menyentuhnya, maka ia telah berjabat tangan dengan-Nya”? (HR. Thabrani).
Dengan penuh harap, Niko mengulurkan tangannya, menyentuh batu hitam itu, merasakan getaran yang membangkitkan seluruh kesadarannya. Di sampingnya, Sherli melakukan hal yang sama, dan saat itu, tatapan mereka bertemu. Ada cinta yang begitu dalam di mata mereka, seolah-olah menembus langit, seolah-olah Allah sedang menatap mereka dengan kasih sayang-Nya. Mereka bukan hanya pasangan dalam kehidupan ini, tetapi juga dalam perjalanan menuju Allah.
Saat putaran ketujuh berakhir, Niko menatap Ka’bah sekali lagi, kini dengan mata yang berbeda. Ia sadar, perjalanan spiritualnya baru saja dimulai. Tawaf telah mengajarkannya bahwa hidup ini adalah tentang bergerak menuju Allah, tanpa henti, tanpa lelah. Dan lebih dari segalanya, ia bersyukur bisa melakukannya bersama Sherli. Ia menggenggam tangan istrinya lebih erat, berbisik pelan, “Kita akan kembali ke rumah ini lagi, insyaAllah.”
Langit Makkah tetap bertabur bintang, seakan-akan tersenyum menyaksikan mereka yang datang dengan hati yang rindu. Dan di antara mereka, Niko dan Sherli berjalan menjauh dari Ka’bah, namun jiwa mereka tetap mengelilingi rumah-Nya, selamanya dalam orbit cinta Ilahi.